Polly po-cket




Tujuan Agama Islam

oleh: Abdul Ghoets

Dikatakan dalam Risalatul Misbah, bahwa:

هَدَفِ الْإِسْلَامِ هُوَ السَّلَامُ وَالْخَلَاص

"Tujuan dari Islam adalah keselamatan dan kedamaian".

Caranya, adalah:

Pertama:

تَنَقَّذ نَفْسَك مِنْ عِقَابِ اللَّهِ

"Menyelamatkan diri dari hukuman Allah".

Kedua:

تُعَرِّفَ عَلَى الْإِسْلَامِ بِعُمْق

"Belajar secara mendalam tentang islam".

Ketiga:

تُشْعِر وَتَجْرِبَة لِنَفْسِك بِالذَّوْقِ

"Merasakan dan mengalami sendiri dengan Adz-Dzauq (merasakan dzikir dengan methode tarekat)".

Keempat:

طَوْر نَفْسِك بِالْحَالِ

"Meningkatkan diri dengan Al-Hal (dimulai dari sekarang dengan menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak disukai)".

Kelima:

تَبَدُّلِ الصِّفَاتِ

"Mengganti sifat dari yang buruk ke sifat yang lebih baik".


Menyelamatkan Diri Dari Hukuman Allah

Dikatakan dalam Risalatul Misbah:

الاسلام هُوَ أَنْ يُّنْقِذَ الْمَرْءُ نَفْسَهُ مِمَّا يُعَاقِبُهُ اللَّهُ، لِأَنّ هَدَفِ الْإِسْلَامِ هُوَ السَّلَامُ وَالْخَلَاص

"Adapun islam adalah menyelamatkan diri seseorang dari hukuman Allah, karena tujuan islam adalah keselamatan dan kedamaian".

Bagi orang yang ingin selamat dari hukuman Allah, tentu saja dia harus ta'at kepada perintah Allah dengan memaksakan diri untuk menjalankan perintah agama.

Akan tetapi untuk "memaksakan diri" dalam menjalankan perintah agama pun diperlukan hidayah dari Allah Ta'ala, dan untuk menghasilkan hidayah dari Allah Ta'ala maka diperlukan hati yang terbuka untuk mendapatkan hidayah tersebut, dan untuk membuka hati agar mendapatkan hidayah diperlukan dzikir (mengingat) Allah Ta'ala, karena tampa dzikir, hati tidak akan terbuka untuk mendapatkan hidayah, dan tanpa hidayah, akan sangat sulit untuk dapat memaksakan diri dalam menjalankan agama, sehingga tanpa dzikir kepada Allah, seseorang akan mendapatkan kecelakaan, yaitu disesatkan oleh Allah dari jalan kebaikan, sehingga selamanya ingkar kepada perintah agama.

Berfirman Allah Ta'ala:

أفَمَنْ شَرَحَ اللهُ صَدْرَهُ لِلإسْلاَمِ فَهُوَ عَلَى نُوْرٍ مِنْ رَبِّهِ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَّةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللهِ أُولَئِكَ فِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ

"Apabila seseorang telah dibukakan hatinya oleh Allah kepada islam, maka baginya Cahaya Tuhannya, akan tetapi kecelakaanlah bagi orang yang lalai hatinya dari berdzikir kepada Allah, baginya kesesatan yang nyata". (Az-Zumar/39 : 22).

Dengan dzikir, seseorang terbuka hatinya untuk mendapatkan hidayah. Dengan hidayah, seseorang akan dapat memaksakan diri untuk menjalankan perintah agama. Dengan menjalankan perintah agama, seseorang akan diselamatkan oleh Allah dari kesesatan yang mencelakakan diri dari jalan kebaikan.

Dan bagi orang yang telah dapat memaksakan diri untuk menjalankan perintah agama, maka baginya rizki yang mengalir dan tidak terhalang oleh halangan apapun.

Berfirman Allah Ta'ala:

وَاَنْ لَوِسْتَقَامُوْا عَلَى الطَّرِيْقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا

"Dan jika mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak)". (Al-Jin/72: 16).


Belajar Secara Mendalam Tentang Islam

Kondisi rizki yang mengalir tanpa terhalang oleh apapun, adalah kondisi di mana seseorang telah "Memaksakan Diri (Kohrun Nafsi)" dalam melaksanakan perintah agama. Akan tetapi, dalam memaksakan diri untuk menjalankan perintah agama pun diperlukan kepahaman dalam ilmu agama, karena, bagaimana bisa seseorang menjalankan agama dengan tidak memahami apa yang dilakukannya, sehingga sangat diperlukan pula untuk belajar ilmu agama agar ketika menjalankan perintah agama, seseorang dapat melaksanakannya dengan benar sesuai dengan keinginan agama itu sendiri, lagipula, menuntut untuk belajar agama adalah salah satu kewajiban seorang hamba Allah.

Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

"Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim". (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu).

Sehingga, ketika sesorang telah memahami ilmu agama, maka dia akan dapat mengajarkannya lagi kepada orang lain yang memerlukan ilmu tentang agama, dan dengan seperti itu, yaitu beranting sambung menyambung dalam mengajarkan ilmu agama, maka agama akan tetap berlangsung, abadi sampai kepada hari kiamat dengan menghasilkan hakikat akhlak agama yang sesungguhnya, yaitu saling "berlaku baik" kepada sesama, bawahan, atasan dan kepada orang yang membutuhkan dan memerlukan.

Bersabda Nabi Muhammad ﷺ :

تَعَلَّمُوْاوَعَلِّمُوْاوَتَوَاضَعُوْالِمُعَلِّمِيْكُمْ وَلَيَلَوْا لِمُعَلِّمِيْكُمْ.

"Belajarlah kamu semua, dan mengajarlah kamu semua, dan hormatilah guru-gurumu, serta berlaku baiklah terhadap orang yang mengajarkanmu". (HR. Thobroni).


Ilmu Agama Harus Dapat Diamalkan Dan Dirasakan Oleh Diri Sendiri (Adz-Dzauq)

Agama adalah jalan keselamatan dan kedamaian hidup apa bila mau memaksakan diri menjalankannya dengan mengetahui ilmunya dengan baik, serta mau menjalankan dan mengamalkannya sendiri, tidak cukup hanya diobrolkan dengan lisannya, tetapi dilaksanakan pula sekuat tenaga dengan anggota badannya, baik secara jismani, ruhani dan sekujur rasa pada jiwanya.

Agama itu harus diamalkan dengan berbagai methode (tarekat) untuk menjalankannya. Tanpa memakai methode atau tarekat dalam menjalankannya, agama itu hanya sebatas lisan dan hanya sekedar untuk disampaikan kepada orang lain, sementara dirinya sendiri tidak dapat mengamalkannya, sehinga baginya, agama tidak menjadi rahmat, malah sebaliknya menjadi laknat yang dapat mencelakakan dirinya sendiri.

Hujjatul Islam, Imam Ghozali rohimahulloh berkata:

كَذَلِكَ حُجَّةُ الإِسْلَامِ الْغَزَالِيُّ رَحِمَهُ اللّهُ قَالَ: إِنَّ أَخَصَّ هَذِهِ الطَّرِيْقَةِ مَا لَا يُمْكِنُ الْوُصُوْلُ إِلَيْهِ بِالتَّعَلُّمِ بَلْ بِالذَّوْقِ وَالْحَالِ وَتَبَدُّلِ الصِّفَاتِ

"Sesungguhnya yang paling khusus pada Thoriqoh (menjalankan agama) ini adalah bahwa ia tidak dapat dicapai hanya dengan belajar, tetapi dengan dzauq (merasakan dan mengalami sendiri), dan Ahwal (berpindah dari keadaan spiritual ke tingkat yang lebih baik), dan mengganti sifat dari yang buruk ke sifat yang lebih baik. (Miftahush Shudur fasal 6, hal. 141)

Dalam pandangan Tarekat yang khusus menurut Imam Ghozali tersebut, agama tidak dapat dijalankan dengan sempurna selama seseorang tidak menjalankan tarekat secara khusus dengan methode yang diajarkannya, karena agama dapat tercapai bukan hanya dengan badan jasmani saja, tetapi dengan badan ruhani dan terasa sampai jiwanya, maka diperlukan mwthode Dzauq, yaitu merasakan gerak dzikir di dalam bathin sehingga dapat membuka hati untuk dapat menerima hidayah (petunjuk) dari Allah untuk menjalankan agama, karena tanpa dzikir kepada Allah, hati tidak dapat terbuka, dan apabila hati tidak terbuka, Allah tidak menurunkan hidayahnya, sehingha apabila tidak ada hidayah dari Allah, bagaimana seseorang merasa pentingnya agama, sehingga tidak ada upaya seseorang untuk menundukkan badan jismaninya untuk belajar mengetahui ilmu agama yang dapat menjalankan agamanya, dan apabila agama tidak dapat dijalankan karena kebodohannya, bagaimana mungkin seseorang dapat selamat di dunia dan di akhiratnya, karena tidak ada wadah yang dapat menyelamatkannya.

Oleh karena itu, untuk dapat menjalankan agama, harus dimulai dari dzikir yang dapat membukakan hatinya menerima ilmu dari Allah, sehingga agama dapat dijalankan dengan semestinya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hujjatul Islam:

الْقَلْبَ هُوَ مِفْتَاحُ الْوُصُوْلِ إِلَى الْمَعَارِفِ الدِّيْنِيَّةِ السَّامِيَّةِ، وَإِنَّ اْلِإنْسَانَ إِذَا غَاصَ فِى نَفْسِهِ وَرَجَعَ إِلَى قَلْبِهِ تَفَجَّرَتْ لَهُ يَنَابِيْعُ الْعُلُوْمِ الْدِّيْنِيَّةِ وَالْمَعَارِفِ الْقُدْسِيَّةِ

"Sesungguhnya hati merupakan kunci untuk sampainya pengetahuan agama yang luhur, dan sesungguhnya adapun manusia apabila menyelam kedalam dirinya sendiri dan datang kepada hatinya sendiri, maka akan terbuka kepadanya sumber-sumber ilmu laduni dan pengetahuan yang suci". (Miftahush Shudur, Fasal 6, Hal. 145)


Memulai Kebaikan Sedini Mungkin Dengan Menjauhkan Diri Dari Sesuatu Yang Tidak Disukai (Al-Hal)

Selanjutnya, dalam menjalankan agama, diperlukan Self Control (mengontrol diri) dari sasuatu yang "tidak baik" menurut diri sendiri atau pun menurut agama, karena apabila seseorang tidak mau membuka hatinya dengan dzikir, maka tidak akan tahu hakikatnya "baik dan buruk (tamyiz)", maka secara otomatis bukan kebaikan yang akan diperbuatnya, akan tetapi keburukan-keburukan yang nampak pada dirinya, karena tidak dapat mengontrol diri, sehingga apapun dilakukan demi kepuasan nafsu dan syahwatnya. Dan apabila telah demikian, bagaimana seseorang dapat memulai sedini mungkin untuk dapat menjalankan agama, sebagaimana yang dimaksud oleh Imam Ghozali tentang konsep menjalankan agama, seperti yang diterangkan di atas, yaitu: Dzauq (merasakan sendiri), Al-Hal (memulai kebaikan sedini mungkin), dan tabadulli shoffat (memperlihatkan akhlak baik dan menyembunyikan akhlak buruk).


Memperlihatkan Akhlak Baik Dan Menyembunyikan Akhlak Buruk

Untuk dapat menjalankan agama sebagaimana mestinya, maka diperlukan akhlak yang baik, karena dengan mau dan peduli terhadap perintah agama adalah akhlak yang baik.

Sebagaimana dikatakan oleh Hujjatul Islam Imam Ghozali, sebagiannya dalam menjalankan agama adalah Tabadulli Shoffat, atau dalam artian "mengganti sifat yang buruk dengan sifat kebaikan". Akan tetapi masalahnya, bagaimana seseorang dapat mengganti sifat buruknya dengan sifat kebaikan, apabila dia tidak mau memperlihatkan kebaikan, karena dengan tidak ada kemauan untuk memperlihatkan kebaikan, maka sifat yang buruk di dalam diri seseorang tidak akan dapat diganti dengan sifat kebaikan, dan itulah kunci yang sesungguhnya agar seseorang dapat mengganti keburukannya dengan kebaikan.

Dikatakan dala Tanbih Syekh Abdullah Mubarok Bin Nur Muhammad rhodiyallohu 'anhu:

"Lebih baik buktikan kebajikan yang timbul dari kesucian". (Tanbih)

Itulah kata kuncinya, yaitu agar seseorang dapat merubah sifat buruknya dengan sifat yang baik, maka harus mau memperlihatkan kebaikan dengan cara membuktikan kebaikannya, sehingga sedikit-demi sedikit kesucian jiwanya akan muncul, dan dengan demikian tergantilah keburukan dengan kebaikan.

Wallohu a'lam...



Sumber:
・ Al-Qur'an dan terjemahnya.
・ Miftahush Shudur, Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin.
・ Risalatul Misbah, Abdul Ghoets.

Back to posts
This post has no comments - be the first one!