Entah apa yang ada dalam pikiranku pada saat itu, karena aku merasa bingung apa yang akan aku sampaikan kepada jama'ah ketika aku hadir dalam suatu undangan acara manaqiban di Kp.Cangkuang Kidul Desa Cangkuang Kec.Leles Kab.Garut, karena pada saat bagianku memberikan ceramah, belum ada satu materipun yang hadir dalam ingatanku ini.
Ketika sampai waktunya ceramah, aku mulai bicara apa adanya saja, sampai aku ingat akan suatu doa yang telah diberikan oleh Pangersa Abah, yaitu doa yang biasa dibaca pada bulan Rajab, yaitu:
اللهم طهر لسانى من الكذب وقلبى من النفاق وعملي من الرياﺀ وبصرى من الخيانة فإنك تعلم خاﺀنة الا اعين وما تخفى الصدور
"Ya Allah, sucikanlah lidahku dari dusta, dan sucikanlah hatiku dari kemunafikan, dan sucikanlah perbuataku dari riya', dan sucikanlah mataku dari khiyanat, sesungguhnya Engkau mengetahui pandangan mataku yang khianat dan apa yang disembunyikan di dalam dada".
Dari situ lidahku mulai mengalir kata demi kata dengan lancar. Pikiranku mulai bisa mengaitkan makna dari redaksi kalimat yang berkaitan dalam doa tersebut, yang selama 15 tahun aku belajar Thoriqot Qodiriyah Naqsyabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya, baru kali ini aku merasakan maknanya dalam pengamalan secara nyata, bukan hanya sekedar dibaca, tetapi jelas doa tersebut menuntut pembuktian pengamalan.
Baru kusadari, bahwa:
Penyakit daripada lidah adalah dusta.
Penyakit daripada hati adalah munafik.
Penyakit daripada amal (dan segala perbuatan yang baik) adalah riya'.
Penyakit daripada mata adalah khianat.
Dusta/Kebohongan Lidah
Dari pengertian doa tersebut sungguh banyak yang tidak menyadari - termasuk diriku - bahwa setiap kali lidah berucap, banyak sekali kebohongan yang keluar dari lidahku ini hanya sekedar ingin dipercaya atau sekedar menutupi kebohongan dengan kebohongan.
Para ulama menetapkan pembagian hukum dusta sesuai dengan lima kategori hukum syar’i, meskipun pada dasarnya hukum bohong adalah haram. Adapun pembagiannya adalah sbb:
Haram, yaitu kebohongan yang tak berguna menurut kacamata syar’i.
Makruh, yakni dusta yang dipergunakan untuk memperbaiki kemelut rumah tangga dan yang sejenisnya.
Sunnah, yaitu seperti kebohongan yang ditempuh untuk menakut- nakuti musuh Islam dalam suatu peperangan, seperti pemberitaan [yang berlebihan] tentang jumlah tentara dan perlengkapan kaum muslimin [agar pasukan musuh gentar].
Wajib, yaitu seperti dusta yang dilakukan untuk menyelamatkanjiwa seorang muslim atau hartanya dari kematian dan kebinasaan.
Mubah, misalnya yang dipergunakan untuk mendamaikan persengketaan di tengah masyarakat.
Ada beberapa riwayat yang menyatakan kebohongan dapat dilakukan dalam kondisi yang memang harus berbohong, seperti riwayat berikut:
Rasulullah Saw membolehkan dusta dalam tiga perkara, yaitu: (1) dalam peperangan, (2) dalam rangka mendamaikan antara orang-orang yang bersengketa dan (3) pembicaraan suami kepada isterinya.
(HR. Ahmad).
Akan tetapi itu pun pada saat yang luar biasa dan Nabi sendiri tetap menghindari untuk tidak berbohong.
Sebagai contoh:
Ketika ada seseorang mencari musuhnya dengan niat berkelahi dan bertanya apakah Nabi melihat ada orang lewat di situ, sebelum menjawab Nabi menggeser tempat berdirinya, baru berkata:
“Sejak saya berdiri di sini, saya belum pernah melihat orang lain selain kamu”. Dan memang sejak Nabi berdiri di tempat yang baru dia belum melihat orang lain selain orang yang bertanya.
Walaupun begitu, hal seperti itu pun jarang dilakukan oleh Nabi sehingga Nabi dijuluki orang sebagai Al Amiin atau yang bisa dipercaya. Begitupun sebagian ulama b+erpendapat, bahwa semua bentuk dusta adalah buruk dan harus dijauhi, sebab tidak sedikit ayat- ayat Al Qur’an yang mencelanya.
Munafiknya Hati
Begitu pula tentang hati, sangat naif sekali diriku ini, lain dibibir lain pula dihati, berkata tanpa ada bukti.
Dari hal tersebut sangat jelas siapa diriku ini....munafik.
Abu Hurairah r.a. berkata:
"Nabi saw. bersabda: Tanda seorang munafik itu tiga: Jika berkata-kata dusta, jika berjanji menyalahi janji, jika diamanati khianat". (Bukhari, Muslim).
Dalam riwayat Muslim ada tambahan:
"...walaupun ia shalat, puasa dan mengaku muslim...".
Abdullah bin Amr r.a. berkata:
"Nabi saw. bersabda: Empat sifat siapa yang melakukannya menjadi munafik sepenuhnya, dan siapa yang melakukan sebagian, berarti ada padanya sebagian dari nifaq hingga meninggalnya, yaitu: Jika diamanati (dipercaya) khianat, jika berkata-kata dusta, jika berjanji menyalahi, jika bertengkar curang". (Bukhari, Muslim).
Riya'nya Amal
Kusadari pula, bahwa setiap kali aku beramal dihadapan orang lain tentu kubuat sebagus-bagusnya agar mereka selalu memakai aku sebagai panutan, berbeda dengan beramal sendiri - dengan tidak ada orang lain yang melihatnya - kubuat secepat mungkin agar cepat selesai. Itu sangat bertentangan dengan apa yang telah kuketahui, sebagaimana telah dikatakan oleh Syekh Abdul Qodir Al-Jailani q.s. :
"Beramal karena ingin terlihat oleh makhluk, itu adalah riya'. Begitu pula apabila menyembunyikan amal karena takut dilihat oleh makhluk, itupun adalah riya'".
(Al-Fathur Robbani)
Nabi saw bersabda:
"...barang siapa melakukan perbuatan riya’, niscaya Allah akan menyebarkan aibnya”.
(HR: Muslim)
Khianatnya mata
Lalu mataku? Tidak ada kebagusan di mataku dalam cara melihat sesuatu. Dalam umurku yang semakin menua ini, masih saja aku suka memandang sesuatu yang diharamkan dalam syara'. Apalagi terhadap wanita, tak berkedip aku melihatnya, seolah menelanjangi tubuhnya, dari atas sampai bawah tak terlewati walaupun satu inchi, terutama antara dada dan lututnya.
Ya Allah, aku telah banyak melihat keindahan-Mu di dunia ini, tetapi tidak lebih banyak dibandingkan aku melihat kemaksiatan yang kusengaja.
“Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan di dalam dada”.
(QS.Ghafir : 19)
Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata:
“Ayat ini terkait dengan seorang lelaki yang duduk bersama suatu kaum, Lalu lewatlah seorang wanita, ia pun mencuri pandang kepada si wanita.”
Ibnu Abbas berkata pula tentang pandangan mata yang khianat:
“Lelaki itu mencuri pandang kepada si wanita, akan tetapi apabila teman-temannya melihat dirinya, ia menundukkan pandangannya, jika ia melihat mereka tidak memerhatikannya (lengah), ia pun memandang si wanita dengan sembunyi-sembunyi, jika teman-temannya melihatnya lagi, ia kembali menundukkan pandangannya, sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui keinginannya dirinya, ia ingin andai dapat melihat aurat si wanita”. (lihat Al Jami’ li Ahkamil Qur’an, 15/198)
Sesuatu Yang Harus Ada
Di Dalam Hati
Baru aku sadar, bahwa agar terhindar dari dustanya lidah, agar hati tidak munafik, agar amal tidak riya', agar melihat tidak khianat, maka hati ini harus selalu berdzikir dengan cara "khofi" sepanjang waktu ketika berbicara dan mendengar, ketika berjanji dan dijanjikan, ketika beramanat dan diamanatkan, ketika sedang sholat, puasa, bershodaqoh, dan haji, ketika sedang marah, ketika sedang melihat, dan ketika sedang melakukan apapun.
Allah Yang Maha Perkara lagi Maha Mulia telah berfirman dalam hadits qudsi:
"La-Ilaha Illa-Allah adalah benteng-Ku, barangsiapa mengucapkannya, maka dia masuk kedalam benteng-Ku. Barangsiapa masuk benteng-Ku, dia telah selamat dari azab-Ku".
(Al-Ghoniyah Li Talibil Haqq).
Dari itu semua aku memohon kepada Allah dengan washilah Guruku yang mulya Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom) r.a. agar aku terjauh dari dusta, munafik, riya dan khianat.